Otak bayi yang lahir prematur, lebih cepat dari 37 minggu, ternyata perkembangannya tidak sebaik bayi yang lahir cukup waktu. Pemberian stimulasi juga dapat tertunda karena ia masih harus dirawat intensif di NICU. Moms, Dads dan keluarga lainnya cenderung jarang kontak langsung dengan si kecil sehingga perkembangan otak bayi prematur berjalan lebih lambat.
Sebuah riset terbaru menegaskan kelemahan ini. Perkembangan otak bayi memiliki hubungan langsung dengan sentuhan yang diterima. Tapi pada bayi prematur sensitivitas otak ditemukan lebih lemah dibanding bayi lainnya ketika mereka mendapatkan sentuhan lembut yang sama.
Riset ini menganalisa 125 bayi prematur dan bayi yang lahir cukup waktu. Respon yang lebih lemah pada bayi-bayi prematur juga ditemukan setelah mereka menjalani prosedur medis yang menyakitkan.
“Kita semua tahu seberapa penting pengaruh sentuhan bagi kita, dan untuk bayi sentuhan juga berperan buat pembentukan otak. Sentuhan mempengaruhi saraf berbeda dengan nyeri, tapi ternyata pengalaman menjalani prosedur medis yang menyakitkan mempengaruhi respon bayi pada sentuhan,” ujar penulis riset Dr. Nathalie Maitre, direktur NICU follow-up clinic, Nationwide Children’s Hospital, Columbus, Ohio, USA.
Sekitar 15 juta bayi lahir prematur setiap tahunnya di dunia menurut data WHO. Di Amerika Serikat, 1 dari 10 bayi lahir prematur dan lebih dari 500 ribu bayi lahir prematur setiap tahunnya. Sebagian besar bayi prematur menghabiskan awal-awal kehidupannya di NICU rumah sakit. Selama itu orangtua biasanya tidak bisa sering mengadakan kontak fisik langsung dengan si kecil. Bayi juga harus menjalani beragam prosedur medis dan tidak sedikit yang menyakitkan.
Riset yang dilakukan tim Dr. Nathalie Maitre melibatkan bayi-bayi prematur yang lahir di usia 24 dan 36 minggu kehamilan. Selain itu, mereka menganalisa bayi yang lahir cukup waktu, antara 38 dan 42 minggu kehamilan. Mereka merekam semua pengalaman si kecil yang melibatkan kontak langsung, seperti saat digendong dan disusui. Mereka juga menempatkan jaring lunak di atas kepala bayi yang akan mengukur respon si kecil terhadap sentuhan halus yang ia rasakan.
Para bayi prematur ini memiliki respon yang beragam. Bayi yang selama di NICU lebih sering kontak dengan orangtua atau tenaga medis, memiliki respon lebih kuat. Sementara semakin dini si kecil lahir, responnya semakin lemah.
“Sedihnya kami melihat bahwa sebagian besar bayi ini tidak mendapatkan banyak sentuhan suportif, bahkan ada yang tidak mendapatkannya sama sekali,” ujar Maitre. “Selama dirawat mereka hanya tergantung pada para perawat. Banyak tantangan yang dihadapi orangtua untuk lebih bisa meluangkan waktu di NICU, melakukan kontak kulit ke kulit, menyusui dan memberikan sentuhan suportif.”
Ia menambahkan, ”Jelas tak ada yang bisa menggantikan menyusui langsung dan kontak kulit ke kulit dari orangtua. Kalaupun orangtua tak bisa datang, sebaiknya minta kerabat lain datang, seperti neneknya atau pengasuh. Setiap sentuhan suportif sekecil apapun sangat berarti buatnya.”
Maitre dan timnya berharap, riset ini mendorong penanganan bayi yang lebih baik di NICU, terutama untuk mengatasi rasa sakit mereka. Selain itu, mereka ingin agar bayi dan orangtua memiliki kesempatan lebih besar untuk menguatkan bonding. Riset ini dipublikasikan di jurnal Current Biology, Maret 2017.