Tepat di Hari Prematuritas Sedunia, 17 November, RSCM meluncurkan JAK-ROP: Program Mobile Retinopati Prematuritas Jakarta. Program ini bertujuan untuk memperluas jangkauan deteksi dini ROP atau gangguan penglihatan Retinopati Prematuritas untuk cegah kebutaan si kecil yang lahir prematur dengan berat badan lahir rendah atau BBLR.
“Ini adalah program jemput bola dari RSCM ke RSUD-RSUD di Jakarta. Skrining akan dilakukan dengan kamera retina mobile. Gambar yang didapatkan akan langsung dikirim lewat TELE ke RSCM untuk dievaluasi dan segera diberi tindakan bila terdeteksi ROP,” papar Prof. dr. Rita Sita Sitorus, SpM (K), PhD, pakar kesehatan mata anak sekaligus Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI/RSCM saat peluncuran JAK-ROP di Auditorium Gedung Kirana, RSCM, Jakarta Pusat.
Program ini adalah hasil kerjasama RSCM dengan Helen Keller International (HKI) dan Standard Chartered Bank yang menyumbangkan sebuah kamera retina mobile untuk RSCM lewat inisiatif global Seeing is Believing. Seeing is Believing sendiri telah berjalan selama 14 tahun, sejak 2003 dan fokus pada kesehatan mata, terutama untuk cegah kebutaan anak.
“Gangguan penglihatan ROP faktanya 80% dapat disembuhkan. Kami fokus pada isu ini karena kebutaan akan berdampak sosial dan ekonomi pada generasi mendatang,” ujar Dody Rochadi, Country Head of Corporate Affair Standard Chartered Bank.
Menurut Prof. Rita, JAK-ROP akan berjalan ke lima RSUD di Jakarta, di antaranya RSUD Pasar Rebo, Budi Asih dan Tarakan. Kamera retina mobile akan didatangkan seminggu sekali ke setiap RSUD. Dalam melakukan skrining, para dokter spesialis mata ini bekerjasama dengan dokter spesialis anak yang menangani bayi prematur sejak lahir.
“Kondisi bayi harus dalam keadaan stabil sebelum melakukan skrining, dan ini ditentukan oleh dokter anak yang menanganinya. Tetapi skrining ROP juga jangan sampai terlambat, tidak boleh lebih dari 42 minggu usia pasca menstruasi,” papar Prof. Rita.
Terlambat skrining akan berakibat ROP berkembang ke stadium lanjut yang sulit ditangani. Pada stadium 4, pembedahan masih bisa dilakukan. Setelah itu kebutaan akan sulit dihindari. Sementara pada stadium awal, ROP bisa ditangani dengan terapi laser hingga pembuluh darah retina dapat berkembang normal.
“Selama ini, skrining ROP untuk bayi yang lahir prematur telah dilakukan di rumah sakit-rumah sakit dengan menggunakan optalmoloskop indirek. Tetapi ini perlu keahlian khusus dan masih ada keterbatasan sumber daya manusia. Dengan retinal camera, skrining lebih mudah dan efisien, hanya saja peralatannya masih mahal,” tutur Prof. Rita.
Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K) dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menambahkan, angka ROP di RSCM sendiri sangat kecil. Hanya sekitar dua dari seratus kelahiran prematur dengan BBLR sangat rendah. Ini dikarenakan penanganan terpadu yang sudah lebih baik.
Selain usia kehamilan di bawah 37 minggu dan berat badan lahir di bawah 1500 gram, ada beberapa faktor risiko ROP lain. Di antaranya adalah terapi oksigen dosis tinggi dalam jangka waktu panjang atau lebih dari seminggu, infeksi berat atau sepsis, transfusi darah berulang dan gangguan pernafasan atau jantung.