Sepintas tak ada yang menyangka sosok fashionable dan aktif ini menyandang disabilitas. Angkie Yudistia, founder Thisable Enterprise, menyandang tunarungu sejak usia 10 tahun. Perubahan drastis yang ia alami itu dimulai setelah menderita demam tinggi malaria.
“Saya bisa bicara karena tidak tuli dari lahir. Saya tidak tahu apakah malaria atau obat antibiotiknya yang memicu ketulian,” ujarnya saat memperingati Hari Pendengaran Dunia bersama Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes RI, di Jakarta, 20 Maret 2017.
Semula Angkie merasa tertekan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima. Tapi ia mampu bangkit berkat dukungan keluarga, bahkan menekuni bidang komunikasi yang sepertinya sulit untuk penyandang tunarungu. Ia juga menjadi None Jakarta Barat 2008, dan sejumlah prestasi lainnya, termasuk sebagai penulis buku. Sehari-hari, ia berkomunikasi dengan alat bantu dengar dan membaca gerak bibir lawan bicara. Ia juga pandai menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu lainnya.
“Dulu saya tetap bersekolah di sekolah umum. Pressure terberat yang saya terima adalah dari lingkungan sekitar karena sering dipandang sebelah mata, di-bully dan dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang gagal. Saat mental drop, butuh effort yang luar biasa untuk naik kembali. Saya beruntung karena berada di lingkungan keluarga yang saling bantu secara internal dalam meningkatkan kepercayaan diri. Banyak yang tidak seberuntung saya,” papar mom Kayla Almahyra ini.
Keluarga, terutama orangtua, adalah pembangkit semangat Angkie. Mereka tetap menanamkan pentingnya disiplin, kemandirian dan keberanian meski putrinya memiliki keterbatasan. “Saya belajar banyak banget dari orangtua. Disiplin itu pasti, tapi yang penting berani. Saya harus bisa sendiri karena usia kita terus berjalan, kalau sesuatu terjadi di masa depan siapa yang akan bantuin kita? Kita harus bisa menolong diri sendiri dulu, bahkan kalau bisa membantu orang lain.”
Sikap kurang mendukung dan cenderung overprotective dari orangtua penyandang disabilitas sering menghambat kemandirian mereka. Angkie sangat menyayangkan hal ini karena ketika mental si kecil drop, tanpa dukungan ia tidak bisa bangkit. “Atau sebaliknya, orangtua overprotective, anak jadi takut kalau di luar, takut salah,” katanya.
Kelahiran Medan, 5 Juni 1987 ini bertekad memberdayakan kaum disabilitas lewat perusahaan yang didirikannya enam tahun lalu, Thisable Enterprise. Ia melihat banyak penyandang disablitas berusia produktif yang menjadi pengangguran karena kurang memiliki keahlian, tidak percaya diri, sulit mendapat kesempatan hingga tidak diterima di lingkungannya.
“Mereka juga butuh uang untuk membiayai keperluan sehari-hari. Program kami termasuk pendidikan komunikasi, mental, soft skill, workshop dan lainnya. Di 2017 ini, kami bekerja sama dengan private company untuk penyerapan tenaga kerja people with disability. Sudah ada sekitar 7000 penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia yang mengirim CV dan siap kerja dalam data base kami. Butuh dukungan banyak pihak agar teman-teman disabilitas ini bisa mandiri,” ujarnya.
Selain memberdayakan kaum disabilitas, Angkie juga ingin berbagi tips untuk Moms agar dapat mencegah masalah pendengaran sejak lahir. Memang ada faktor yang sulit dihindari seperti faktor genetik, tapi banyak faktor lain yang bisa diatasi.
“Supaya anak tidak lahir disabilitas, lebih baik Moms menghindari makanan mentah seperti sushi, sashimi dan salad. Secara pribadi, saya senang banget pemerintah tahun ini mengadakan imunisasi untuk Moms karena campak Rubella sering menjangkiti moms hamil, memicu keguguran atau tuli pada si kecil. Moms juga perlu mengendalikan emosi selama hamil karena ibu stress, anak tidak bahagia. Moms happy dan makan makanan bergizi, si kecil akan lahir sehat,” sarannya.