
Ini bukan film dokumenter biasa. Banda The Dark Forgotten Trail tampil sebagai karya artistik yang memanjakan mata, memainkan emosi, memicu kepenasaran sekaligus mengangkat kenyataan pahit sejarah bangsa kita yang panjang dan kelam.
Film documentary feature pertama sutradara Jay Subiyakto bersama Lifelike Pictures ini mengangkat kisah jalur rempah, yang menjadi cikal bakal kolonialisme di Indonesia. Kepulauan Banda adalah penghasil pala satu-satunya di dunia sekitar abad ke-16. Para pedagang dari Cina dan Arab sudah terlebih dulu mengenalnya dibanding bangsa Eropa. Mereka menjadikan pala sebagai komoditas yang jauh lebih berharga dari emas.
Berbeda dengan pedagang Arab dan Cina, bangsa Eropa datang dengan niat memonopoli. Perlawanan rakyat Banda dibalas pembantaian besar-besaran oleh Belanda berbendera VOC, yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Belasan ribu penduduk dibantai. VOC lalu mendatangkan banyak suku lain di Nusantara sebagai budak. Banda menjadi tempat percampuran budaya yang unik antara suku-suku di Nusantara, Arab, Tionghoa dan Eropa sehingga menginspirasi empat founding father kita yang pernah diasingkan ke sana, dalam merumuskan UUD 1945.
Begitu mendapat tawaran menyutradarai film dokumenter Banda dari produser Lifelike Pictures, Sheila Timothy dan Abduh Aziz, Jay Subiyakto mengaku langsung menerima. Baginya, membuat film dokumenter sejarah sangat penting karena melupakan sejarah sama saja dengan mematikan masa depan bangsa.
“Tapi karena ini pertama kali saya membuat film panjang dokumenter, saya mengajak banyak teman DOP, editor dan lainnya. Film ini seperti kolase dari mereka,” ujar Jay Subiyakto usai preview film Banda The Dark Forgotten Trail di Cinema XXI Plaza Indonesia, Jakarta, 26 Juli 2017.
Pembuatan Banda The Dark Forgotten Trail didukung penulis naskah Irfan Ramli, penulis film Filosofi Kopi 2 yang sangat mendalami sejarah. Sebagai Director of Photography atau DOP ada nama Ipung Rachmat Syaiful, ICS, dan dua fotografer terkenal, Oscar Matuloh serta Davi Linggar. Film ini juga disisipi animasi karya RUS Animation dari SMK Raden Umar Said Kudus dan lagu dari Barasuara. Sepanjang film, kita akan mendengar suara Reza Rahadian yang membacakan narasi. Film berdurasi 94 menit ini juga dibuat versi berbahasa Inggris dengan Ario Bayu sebagai narrator.
“Saya sangat ingin terlibat dalam film Jay dan ini menjadi pengalaman pertama sebagai narrator. Tantangannya berbeda karena saya harus menjiwai gambar demi gambar,” ujar Reza Rahadian, yang membacakan puisi karya Chairil Anwar di penghujung film dengan penuh penghayatan.
Lifelike Pictures juga bekerjasama dengan para komikus KOSMIK untuk menerbitkan komik Bara, the Dark Age of Banda yang ceritanya dibuat Ockto Baringbing. Bila si kecil bisa mengenal sejarah Banda lewat komik, Moms & Dads dapat menonton filmnya yang mulai tayang di bioskop pada 3 Agustus 2017.
“Selain tayang di bioskop, bersama Kemendikbud, kami akan memutar film di sekolah-sekolah. Kami juga akan menggelar premiere pada 31 Juli, sebagai peringatan 350 tahun pertukaran Pulau Rhun di Kepulauan Banda dengan Nieuw Amsterdam atau Manhattan, New York antara Belanda dan Inggris pada 1667,” ujar Sheila Timothy, yang sebelumnya memproduseri film-film panjang fiksi, seperti Pintu Terlarang, Modus Anomali dan Tabula Rasa.
