Kadang depresi, kadang penuh semangat bahkan hiperaktif. Perubahan mood yang sangat cepat, ekstrim dan kerap terjadi jangan disepelekan, Moms & Dads, karena itu ciri khas Gangguan Bipolar atau GB.
“Mulailah care pada teman yang jam 2 pagi masih WA-an dan kalau diladeni bisa sampai jam 4 pagi. Energinya seperti tidak pernah habis, banyak ide besar, dan mood swing ekstrim. Ini tanda Gangguan Bipolar, tapi sering dianggap wajar di kehidupan perkotaan,” ujar dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ (K), psikiater sekaligus Ketua Perhimpunan Kedokteran Jiwa Indonesia cabang Jakarta atau PDSKJI Jaya, membuka seminar Gangguan Bipolar Vs Gaya Hidup Modern, di Hong Kong Café, Jakarta Pusat, 30 Maret 2017.
Psikiater dari Departemen Kesehatan Jiwa Masyarakat, Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan atau RSJ Grogol ini menambahkan, ada banyak faktor risiko GB di daerah perkotaan seperti Jakarta. Kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas hingga kegaduhan suasana pemilihan gubernur pun bisa menjadi pemicu. Selain itu, hal-hal viral di media sosial sangat berpengaruh. Pemberitaan yang gencar memicu perilaku imitatif, bahkan aksi berbahaya seperti Skip Challenge dan Eraser Challenge di kalangan remaja malah jadi trend.
“Misi utama PDSKJI Jaya adalah urban mental health,” ujar dr. Nova. Agar masyarakat luas, termasuk Moms & Dads sekeluarga, bisa menambah pengetahuan tentang kesehatan jiwa, PDSKJI Jaya meluncurkan situs www.pdskjijaya.org. Siapapun bebas mengakses situs ini dan berkonsultasi langsung dengan para psikiater melalui media sosial.
“Kami bekerjasama dengan media sosial selasar.com yang memiliki 30 ribu pengguna aktif dan membangun sebuah gerakan nasional GISDI atau Gerakan Indonesia Sehat Digital, dan lainnya,” tambah dr. Nova saat peluncuran www.pdskjijaya.org tepat di Hari Bipolar Internasional, 30 Maret, yang diambil dari tanggal lahir pelukis legendaris Vincent Van Gogh.
Pengaruh gaya hidup modern terhadap GB juga dijelaskan Dr. Iman Firmansyah, SpKJ, Kepala Rehabilitasi BNN dan Kepala Bidang Hukum dan Etika PDSKJI Jaya. Menurutnya, tekanan bisa timbul ketika seseorang kurang bijak dalam mengikuti arus gaya hidup modern. Pengalaman buruk masa kecil, kurangnya supervisi orangtua hingga pengaruh negatif teman sebaya bisa menjadi pemicu GB. Bahkan GB dapat berkembang menjadi perilaku adiksi.
Dr. A. A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ (K), psikiater sekaligus Kepala Departemen Psikiatri RSCM mengatakan, banyak yang tidak mengenali gejala GB bahkan bisa salah diagnosa dengan masalah kesehatan jiwa yang lain. Jadi, penting bagi siapa saja untuk dapat mendeteksi gejala GB, terutama pada orang terdekat.
“GB ditandai dengan periode perpindahan mood, pikiran, energi, dan perilaku. Orang dengan GB mengalami perubahan mood yang dramatis, dari mood tinggi atau manic dan hipomanik, menjadi mood yang sangat menurun atau depresi,” tutur Dr. Agung, sambil menambahkan, Moms & Dads perlu waspada bila seseorang merasa tidak butuh tidur dan sangat aktif bekerja sepanjang hari, penuh lompatan ide serta mendadak dandan berlebihan dengan warna cerah atau malah mengurung diri.
“GB bersifat kronik, serius dan sering berpotensi fatal, memicu bunuh diri. Namun dengan adanya diagnosis yang tepat serta terapi yang berkelanjutan, GB dapat dikendalikan. Pasien GB sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar, terutama keluarga,” ujar Dr. Agung.
Seminar ini juga dihadiri oleh Budi Putra, seorang advisor perusahaan IT dan mantan jurnalis yang pasien GB. “Saya baru menyadari menderita GB lima tahun lalu. Ketika memasuki periode depresi maupun manic, saya hanya butuh didengarkan, bukan nasehat,” ujarnya.