Moms, si kecil yang alergi bisa mengalami hambatan tumbuh kembang. Ada banyak pemicu alergi, yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu makanan dan hirupan. Pada si kecil, menurut penelitian, alergi makanan memiliki angka kejadian tinggi, terbanyak adalah alergi telur, disusul alergi protein susu sapi. Sayangnya, banyak moms tidak menyadari saat si kecil menderita alergi protein susu sapi.
“Alergi protein susu sapi bisa menyerang saluran cerna sekitar 50-60%, sistem pernafasan sekitar 20-30% dan kulit, 50-60%,” ujar Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., SpA (K), M. Kes, saat peluncuran kampanye Bunda Tanggap Alergi dengan 3K (Kenali, Konsultasikan, Kendalikan), di Jakarta, 5 April 2017.
Ia menambahkan, “Gejalanya dapat bersifat ringan seperti kemerahan, gatal dan eksim pada kulit, hingga berat seperti mengi pada saluran nafas, kolik, diare berdarah, dan konstipasi. Gejala paling berbahaya adalah gagal tumbuh dan anaphylaxis atau penyempitan saluran nafas.”
Penyakit alergi sebenarnya bisa dicegah walaupun si kecil memiliki bakat alergi secara genetik. Salah satu cara terampuh adalah dengan pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. ASI diyakini dapat menginduksi perangsang terjadinya toleransi terhadap bermacam zat sehingga si kecil tidak mengalami alergi.
“Ketika si kecil menampakkan gejala alergi pun ASI bisa menjadi obat. Yang perlu diperhatikan adalah asupan makanan untuk ibu yang menyusui. Selama menyusui, hindari makanan pemicu alergi pada si kecil yang telah terdiagnosa. Misalkan, hindari minum susu sapi dan makanan produk susu. Bila belum menampakkan gejala, ibu jangan berpantang makanan kecuali yang memicu alergi pada ibu sendiri,” tutur Prof. Budi.
Memasuki periode pemberian makanan padat atau MPASI, untuk si kecil yang sudah dinyatakan alergi protein susu sapi, hindari MPASI yang mengandung produk susu. Di periode ini pun, Moms dianjurkan terus memberikan ASI dan hindari konsumsi makanan produk susu. Pemberian MPASI juga harus tepat waktu, yaitu di usia 6 bulan.
“Pemberian MPASI terlalu cepat, misalkan di usia 3-4 bulan, atau terlambat, misalkan di usia 9 bulan, akan meningkatkan risiko alergi,” tambah Prof. Budi.
Bila karena alasan medis si kecil tidak bisa mendapatkan ASI maupun donor ASI, Moms dapat memilih susu formula terhidrolisa setelah berkonsultasi dengan dokter. Susu formula jenis ini masih bisa diberikan karena alergi tidak ditimbulkan oleh seluruh rangkaian asam amino dalam susu sapi. Susu yang terhidrolisa memiliki rangkaian asam amino yang telah terpotong-potong sehingga tidak memicu alergi.
Untuk pencegahan atau sebelum si kecil menampakkan gejala alergi, dianjurkan memilih susu formula terhidrolisa parsial. Tetapi bila sudah timbul alergi, gunakan yang sudah terhidrolisa ekstensif atau asam amino. Kedua jenis terakhir ini mungkin sedikit sulit didapat Moms di kota-kota kecil. Moms bisa menggantinya dengan susu formula soya atau kacang kedelai. Tapi susu formula soya hanya diberikan untuk pengobatan, bukan pencegahan.
“Moms tidak perlu kuatir dengan efek sampingnya karena ini bukan susu soya murni. Dari hasil penelitian, tidak ada gangguan reproduksi dan tumbuh kembang pada anak yang terpaksa harus mengonsumsi susu formula soya,” ujar Prof. Budi.