Setelah melahirkan , pertambahan usia dan faktor-faktor lainnya membuat miss V moms berubah. Treatment medis untuk peremajaan miss V memang bukan sekadar tren, tetapi menjadi kebutuhan esensial pada kondisi-kondisi tertentu.
Peremajaan miss V atau vaginal rejuvination menjadi bagian dari kemajuan di bidang ginekologi. Saat ini memang belum banyak ahli ginekologi estetik di Indonesia. Pasangan suami istri, dr. Dasep Suwanda, SpOG dan dr. Ni Komang Yeni Dhanasari, SpOG adalah dua di antaranya.
“Para pasien kami menyebut kami Desainer Vagina,” ujar dr. Ni Komang Yeni Dhanasari, SpOG, yang biasa dipanggil dr. Yeni, dalam seminar media Peremajaan Vagina: Sekadar Tren atau Kebutuhan, yang digelar Bamed Women’s Clinic, 27 November, di Jakarta Pusat.
Mengapa Mom membutuhkan treatment ini? Alasannya beragam. Dr. Yeni mengungkap, 43% karena disfungsi seksual. Disfungsi seksual pun banyak jenisnya, bisa berupa dyspareunia atau nyeri saat berhubungan dengan Dad, gangguan hasrat, gangguan body image, cedera melahirkan atau sedang menyusui, penggunaan pil KB yang menurunkan libido, gangguan psikologis dan gangguan relationship setelah persalinan. “Disfungsi seksual yang bersifat psikologis tentunya tidak bisa kami treatment. Walaupun di sini kami melakukan holistic treatment,” kata dr. Yeni.
Menurut dr. Yeni, paska melahirkan jaringan vagina menjadi kendur, menciptakan rasa longgar dan berkurangnya kepekaan di daerah vagina. Kondisi ini disebut vaginal laxity atau elastisitas vagina yang mulai berkurang. Selain itu, Moms bisa jadi mengalami Stress Urinary Incontinence atau SUI, kesulitan mengontrol urin akibat hilangnya kekuatan di uretra karena struktur pendukung pelvis melemah. “Moms bisa memulai treatment ini paling cepat 3 bulan setelah persalinan, agar hormon sudah seimbang dan stabil,” ujarnya.
Di usia-usia menjelang menopause, di atas 40 tahun, daerah vagina juga umumnya terasa renggang dan kering. Pergeseran hormon yang terjadi karena menopause menyebabkan lapisan vagina kering, kurang elastis dan meradang. Selain itu, organ intim juga bisa mengalami infeksi berulang, seperti keputihan.
Tindakan peremajaan organ intim bisa dilakukan secara non-invasif, semi-invasif, maupun invasif atau pembedahan. Non-invasif contohnya adalah perawatan Radiofrequency untuk labia mayora tightening, brightening dan labia remodeling. Tindakan semi-invasif contohnya Laser treatment untuk kasus SUI dan perawatan dengan Platelet Rich Plasma (PRP) untuk perbaikan kualitas mukosa vagina. Sementara tindakan invasif contohnya Vaginoplasty untuk memperbaiki anatomi dan fungsi vagina, dan Hymenoplasty untuk memperbaiki selaput dara yang robek.
Tujuan peremajaan miss V secara umum adalah untuk memperbaiki jaringan vagina, kelenturan dinding vagina, meningkatkan sensasi saat bersetubuh, memperbaiki kulit labia yang mengendur dan tidak kenyal, dan lainnya. Secara keseluruhan, hasil treatment ini dapat meningkatkan kualitas hidup Moms.
“Tak perlu merasa sungkan membicarakan masalah ini dengan dokter. Agar lebih nyaman, carilah dokter perempuan. Jangan sampai Moms suffer in silence,” ujar dr. Dasep, yang lebih banyak menangani treatment invasif.
Saran dari mereka, sebelum berkonsultasi dengan dokter, selain cek sertifikasi dokternya, kenali dulu masalah Moms dan tujuan yang ingin dicapai, bila perlu siapkan daftar pertanyaan. Sesi konsultasi sangat penting untuk menentukan treatment selanjutnya. Pada sesi ini, Moms bisa mengutarakan keinginan, keterangan singkat tentang kondisi Moms, riwayat penyakit, lifestyle seperti merokok, dan lainnya. Disarankan untuk membawa hasil papsmear. Ada beberapa kontra indikasi pada treatment ini, seperti sedang hamil, sedang haid, pendarahan, infeksi jamur, HIV, HVP dan herpes, serta riwayat alergi.
“Tanyakan juga risikonya karena setiap prosedur medis ada efeknya,” tambah dr. Yassin Yanuar Mohammad, SpOG (K), MSc, CEO Bamed Healthcare Group. Dr. Yeni menjelaskan, pasien menopause misalnya, berisiko terjadi scar dan pendarahan pada treatment laser. Sementara setelah tindakan invasif, ada beberapa hal yang perlu dihindari selama proses penyembuhan luka, seperti tidak berhubungan intim selama 8 minggu, tidak berenang dan melakukan peregangan.
dr. Dasep Suwanda, SpOG dan dr. Ni Komang Yeni Dhanasari, SpOG