Didiagnosa diabetes mellitus atau DM tipe-1 di usia 9 tahun, Fulki Baharuddin Prihandoko tidak jadi patah semangat. Malah anak laki-laki, yang kini berusia 12 tahun ini, sangat menikmati aktivitasnya sebagai anggota Pramuka. Fulki bahkan dinyatakan lolos seleksi jambore berskala internasional, Australian Jamboree 2019, dan siap terbang ke negeri kanguru awal Januari nanti.
Fulki mewakili sekolahnya, SMP Al Azhar Pusat, Jakarta, ke event yang diikuti sekitar 10 ribu anggota Pramuka dari berbagai negara itu. Australian Jamboree yang berlangsung 10 hari, dikenal dengan beragam aktivitas yang bermanfaat sekaligus menyenangkan. Anak-anak di bawah usia 15 tahun diajak bertualang di alam bebas, melakukan permainan outbound, berolahraga ekstrem, hingga mengasah banyak keterampilan khas Pramuka.
Saat akan mengikuti seleksi di sekolah, mom Fulki, Aisya Rahma, sempat berpesan pada guru putranya. Ia ingin anaknya bisa mengikuti semua tahap seleksi dengan fair, tidak dihambat karena penyakit yang diidapnya atau justru diberi kompensasi. “Saya mau Fulki bahagia. Saya tidak ingin diabetes menjadi penghalang dan membuatnya rendah diri. Dengan diabetes, dia harus tetap bisa menjadi apapun yang dia mau,” ujarnya ketika ditemui di Gedung Adhyatma, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Selatan, 31 Oktober.
Dad Fulki, Konang Prihandoko, menambahkan,”Kami bersyukur, dia tabah dengan penyakitnya. Dia tetap percaya diri dan mau terima. Teman-temannya juga saling bantu.” Fulki sendiri tidak hanya aktif sebagai anggota pramuka. Ia pernah menjadi ketua panitia kegiatan amal sekolah dan ikut dalam pentas seni. Bersama keluarganya, bungsu dari tiga bersaudara ini baru menjalankan ibadah Umroh dengan lancar.
Fulki adalah satu di antara ribuan anak yang terdiagnosa DM tipe-1 di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkap, ada 1.213 kasus DM tipe-1 sejak September 2009 hingga September 2018. Secara umum, angka kejadian DM pada anak usia 0-18 tahun mengalami peningkatan sebesar 700% dalam jangka waktu 10 tahun. Miris ya, Moms & Dads.
Diabetes mellitus tipe-1 terjadi karena kerusakan sel beta pankreas sehingga tidak dapat memproduksi insulin, yang berfungsi sebagai pengendali kadar gula darah dalam tubuh. Penyebabnya bisa beragam faktor, seperti kecenderungan genetik, faktor lingkungan, dan sistem imun.
“Siapa saja bisa kena. Diabetes mellitus tipe-1 tidak mesti diturunkan dari orangtua. Seperti Fulki, kedua orangtua dan saudaranya tidak ada yang diabetes. Dia itu ‘pilihan,’” ujar Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), Ketua Umum IDAI, dalam media briefing Hari Diabetes Sedunia bersama Direktur P2PTM, dr. Cut Putri Arianie, MH.Kes.
Dr. Aman menegaskan, perlu deteksi dini untuk mencegah komplikasi dan ketoasidosis atau koma diabetik serta tata laksana yang tepat agar anak memiliki survival skill. Gejalanya antara lain, si kecil sering haus, sering lapar, sering berkemih dan mengompol, penurunan berat badan drastis, kelelahan, mudah marah dan nafas berbau keton.
Orangtua Fulki mendapati gejala-gejala tersebut pada anaknya sebelum didiagnosa. “Fulki sering haus, dan malam-malam bisa minum hampir satu liter,” ujar Aisya. “Dia juga sering ngompol sejak kelas 2 SD, luka susah sembuh dan gatal-gatal,” tambah Konang. Saat Fulki memeriksakan gula darah pertama kali, kadarnya mencapai 750 mg/dL dengan HbA1C 17,6% dan harus langsung dirawat di rumah sakit.
Kini, Fulki selalu menjalankan pola makan teratur 3J (Jumlah, Jadwal dan Jenis), rutin mendapat suntikan insulin sebelum makan, termasuk saat di sekolah, teratur memeriksa kadar gula darah dan berolahraga. “Di tas Fulki selalu ada alat cek gula darah dan batere cadangannya, suntikan insulin dan buku catatan harian gula darahnya. Di sekolah, dia menyuntik sendiri,” tutur Aisya.
Mom 43 tahun ini tak ingin terlalu kaku untuk urusan makan anaknya. Ia masih membolehkan Fulki makan atau minum yang manis sesekali. Dia juga selalu menjelaskan kondisi putranya ke pihak sekolah dan berkomunikasi dengan sesama orangtua penyandang DM lainnya.